Selasa, 18 Februari 2014

Seorang Slamet Mustofa

                                   

Anak laki-laki kecil nan mungil berkulit hitam itu namanya Slamet Mustofa, teman-teman dan gurunya biasa memanggil ia Mustofa atau Tofa. Umurnya 11 tahun. Ia murid kelas 6 di salah satu sekolah dasar nun jauh disana di sebuah desa di ujung kabupaten Temanggung, SDN 2 PagerGunung. Bukan tak sengaja aku mengenal Mustofa, aku mengenalnya saat aku menjalani pengabdian di desa PagerGunung melalui program-program KKN.

Mustofa termasuk anak yang paling pintar dari 12 orang murid kelas 6 di sekolahnya, ia peringkat pertama di kelasnya. Ya,  murid kelas 6 nya memang hanya 12 orang. Kalau diranking 10 besar, yang tidak dapat ranking hanya 2 orang. Mustofa kecil ini pintar terutama dalam pelajaran IPA dan matematika. Dia selalu bisa mengerjakan setiap soal yang diberikan dengan baik.

Aku juga tidak tahu kesehariannya di rumah, aku hanya mendengar sedikit cerita tentang keluarganya dari cerita temanku yang pernah mengantar mustofa pulang ke rumah dan bertemu ayahnya. Tak ada yang istimewa dari cerita ayahnya kepada temanku, biasa saja. Mustofa berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ayahnya hanya buruh tani, tapi beliau sangat memberi dukungan Mustofa untuk sekolah hingga jenjang tertinggi. Begitu yang aku dengar dari cerita temanku saat tiba di posko dari mengantar mustofa pulang.

Berangkat sekolahnya jalan kaki, masuk hutan keluar hutan. Terkadang ia melepas alas kakinya agar tidak basah saat hujan. Ia harus berjalan kaki sekitar 3km dari rumahnya di dusun plaosan untuk sampai ke sekolahnya di dusun klumpit. Kali ini aku melihat langsung kisah laskar pelangi versi mustofa dan kisah itu benar adanya.

                                  

Hari itu Sabtu tanggal 8 Februari 2014, kami mengajak si kecil Mustofa untuk ikut lomba 'Ranking 1' yang diselenggarakan teman-teman KKN tingkat Kecamatan. Bukan tanpa persiapan sebelumnya, aku dan teman-teman memberikan les tambahan kepada mustofa setiap sepulang sekolah sejak H-5 untuk mempersiapakan dalam mengikuti perlombaan ini. Setiap hari ia datang ke posko untuk belajar. Anaknya santai, tak pernah ambil pusing. Bisa atau tidak bisa menjawab dia tetap tertawa, tertawa lepas sebagaimana anak kecil lainnya. Sampai H-2 dia tak lagi datang ke posko untuk belajar, kami pikir tak apalah karena di sudah tahu banyak hal.

Saat hari H perlombaan, kami membawanya pergi ke kantor kecamatan yang cukup jauh dari desa. Mustofa punya 79 rival dari sekitar 30 SD se kecamatan, dengan jumlah peserta 80 siswa SD. Perlombaan pun dimulai. Satu persatu siswa yang menjawab salah akan langsung dinyatakan gugur oleh panitia. Sampai 5 besar, Mustofa masih tetap percaya diri. Aku dan teman-teman terus mendukungnya dari pinggir area perlombaan. Pada akhirnya tersisa 3 siswa dan langsung gugur 2 peserta, tapi itu bukan Mustofa. Justru si item kecil ini yang bertahan hingga tersisa seorang diri. Hari itu aula kecamatan bergemuruh, kami mendapati anak kecil hitam kurus kecil ini menjadi pemenang lomba. Ia pun kaget, ia berkali-kali ikut lomba tapi baru kali ini menang. Kepintarannya seperti terlupakan oleh guru-guru di sekolahnya, tak ada yang peduli. Semua murid dianggap sama saja, padahal dia beda.





Hari itu, si hitam kecil nan pintar ini menyumbangkan penghargaan untuk sekolahnya yang sederhana di desa. Hadiahnya memang tak seberapa, tapi predikatnya sebagai 'ranking 1' akan terus melekat. Dia berhasil mengharumkan nama sekolahnya di tingkat kecamatan. Ya, kali ini baru sampai tingkat kecamatan. Semoga suatu hari nanti ada pencapaian yang lebih besar dari seorang Slamet Mustofa.

Oh iya, cita-citanya menjadi seorang nahkoda kapal. Entah apa yang dipikir dalam benaknya untuk menjadi seorang nahkoda, desa tempat tinggalnya pun bahkan sangat jauh dari daerah pesisir. Tapi aku yakin, laki-laki kecil ini akan menjadi nahkoda kapal yang hebat dan tangguh dalam menerjang ombak di lautan lepas, ia akan mengelilingi benua-benua di dunia dengan berlayar sehebat Marcopolo atau Christopher Colombus.

Dari laki-laki kecil yang tinggal di pelosok dusun di sebuah desa di kaki gunung ini aku banyak belajar, termasuk belajar bahwa pada kenyataannya "seorang pemenang itu tidak dilahirkan, tapi dia diperjuangkan.."


-ditulis 2 hari setelah pulang KKN, setelah mendapatkan kembali sinyal internet yang sudah lama hilang-

1 komentar:

Ads Inside Post